Kajian Kitab Ushul Tsalatsah : Hari 2, Rabu 22 Maret 2023

waktu baca 18 menit
Kamis, 30 Mar 2023 08:59 0 591 admin

Catatan Daurah Kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah

Bersama Ustadz Rahmat Ridho, S.Ag

Rabu, 22 Maret 2023 / 29 Sya’ban 1444H

Tiga Landasan Agama yang Perlu Dipelajari

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata :

فَإِذَا قِيلَ لَكَ: مَا الأُصُولُ الثَّلاثَةُ التِي يَجِبُ عَلَى الإِنْسَانِ مَعْرِفَتُهَا؟ فَقُلْ: مَعْرِفَةُ الْعَبْدِ رَبَّهُ، وَدِينَهُ، وَنَبِيَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Apabila ditanyakan kepadamu, ‘Apa al-ushul as-tsalatsah (tiga hal mendasar) yang wajib diketahui oleh tiap-tiap muslim?’ Maka, jawablah, ‘Seorang hamba mengenal Tuhannya, agamanya, dan Nabinya Muhammad ﷺ’.”

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan bahwa ada 3 perkara yang wajib diketahui oleh setiap muslim, yaitu:

  1. Mengenal Tuhannya.
  2. Mengenal agamanya.
  3. Mengenal nabinya.

Dalam istilah syariat, 3 perkara ini nanti akan ditanyakan oleh malaikat Munkar dan Nakir kepada setiap mayat, siapa Tuhanmu? apa agamamu? Siapa nabimu? Siapa yang mampu menjawab 3 pertanyaan ini, maka setelahnya akan mudah baginya.  Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

القبرُ أوَّلُ منزِلٍ من منازِلِ الآخرَةِ فإن نجا منهُ فما بعدَهُ أيسرُ منهُ

“Kubur adalah tempat persinggahan akhirat yang pertama. Barangsiapa yang selamat darinya, maka jenjang berikutnya akan lebih mudah.”

Perlu dipahami bahwa ketiga pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan iman dan amal, bukan dengan taklid (ikut-ikutan) semata. Karena dalam hadis yang lainnya disebutkan ketika seorang munafik ditanyakan tentang tiga hal ini maka dia mengatakan;   

 لا أدرِي، سمِعْتُ النَّاسَ يقولونَ شيئًا فقُلْتُه

“aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu, kemudian aku mengatakan hal tersebut.”

Maka dari itu, ketiga hal ini wajib diimani dan diamalkan.

 

LANDASAN PERTAMA

Siapa Tuhanmu?

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata :

فَإِذَا قِيلَ لَكَ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَقُلْ: رَبِّيَ اللهُ الَّذِي رَبَّانِي، وَرَبَّى جَمِيعَ الْعَالَمِينَ بِنِعَمِهِ

“Apabila ditanyakan kepadamu, ‘Siapa Tuhanmu?’ Maka jawablah, ‘Tuhanku adalah Allah yang telah mentarbiyahku dan seluruh alam semesta dengan nikmat-nikmat-Nya.”

وَهُوَ مَعْبُودِي لَيْسَ لِي مَعْبُودٌ سِوَاهُ؛

“Dia adalah sesembahanku. Aku tidak memiliki sesembahan selain Dia.”

Penjelasan :

Siapa Rabb-mu?

Disini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memulai dengan pertanyaan. Ini adalah salah satu metode di dalam mengajarkan sesuatu kepada orang lain, diantaranya adalah dengan metode tanya jawab, sebagaimana dahulu Rasulullah ﷺ juga melakukan metode demikian kepada para sahabatnya. Contohnya adalah ketika Nabi Muhammad bertanya pada mereka:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ

“Tahukah kalian, Siapakah orang yang mengalami bangkrut berat diantara kalian?” Para sahabat menjawab pertanyaan Nabi: “Mereka adalah orang yang tidak memiliki suatu harta apapun”. (HR. Muslim, No: 2581).


Metode tanya jawab adalah salah satu diantara metode-metode untuk memberikan pengajaran, mentransfer ilmu kepada orang lain, dan maksudnya adalah supaya orang yang ditanya memberikan perhatian.

Apa itu Rabb?

Rabb adalah dia kembali kepada Rububiyah Allah ﷻ. Rububiyah Allah ﷻ itu dia kembali kepada tiga hal, yaitu;

  1. Yang mencipta
  2. Yang mentarbiyah (memiliki atau menguasai)
  3. Yang mengatur

Tarbiyah adalah mendidik, merawat, dan memelihara. Tarbiyah adalah diantara sifat-sifat Allah ﷻ.

Dialah yang memelihara aku bahkan bukan hanya diriku tapi Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentarbiyah seluruh alam semesta dengan kenikmatan-kenikmatan-Nya.

وَهُوَ مَعْبُودِي لَيْسَ لِي مَعْبُودٌ سِوَاهُ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَكُلُّ مَنْ سِوَى اللهِ عَالَمٌ، وَأَنَا وَاحِدٌ مِنْ ذَلِكَ الْعَالَمِ.

“Dia adalah sesembahanku. Aku tidak memiliki sesembahan selain Dia. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), ‘Segala puji milik Allah tuhan semesta alam’. (QS. Al-Fatihah: 2) Segala sesuatu selain Allah adalah alam (makhluk).”

Penjelasan :

Tauhid rububiyah adalah meyakini bahwa hanya Allah ﷺ lah yang menciptakan, memiliki, dan mengatur seluruh alam semesta. Adapun tauhid uluhuiyah adalah beribadah hanya kepada Allah ﷻ semata.

Karena Allah ﷺ yang menciptakan, memiliki, dan mengatur seluruh alam semesta, maka Allah ﷻ saja lah yang berhak disembah. Para ulama menyebutnya dengan ungkapan,

“Tauhid rububiyah membawa konsekuensi tauhid uluhiyah”.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kemudian mendatangkan dalil bahwasanya Allah ﷻ adalah Rabb seluruh alam semesta, yaitu firman Allah ﷻ,

﴿الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 2)

Pada kalimat الْحَمْدُ لِلَّهِ  “Segala puji bagi Allah ﷻ” berarti ada penetapan bahwa setiap macam pujian adalah milik Allah ﷻ. Adapun selain Allah ﷻ (makhluk) hanya dapat dipuji karena bisa melakukan ini dan itu, sementara yang bisa membuat mereka melakukan ini dan itu adalah Allah ﷻ. Jadi harusnya yang berhak untuk mendapatkan pujian adalah Allah ﷻ, sebab Allah ﷻ lah yang menciptakan mereka. Karenanya, jika kita kagum melihat sesuatu, kita disyariatkan untuk mengucapkan “Masyaallah Tabarakallah”. Selain itu juga, selain Allah ﷻ yang kita puji pasti memiliki kekurangan dari sisi yang lain. Berbeda dengan Allah ﷻ, Allah ﷻ sempurna sehingga berhak dipuji dari segala sisi.

Adapun الْعَالَمِينَ merupakan jamak dari عَالَم. ‘alam artinya satu jenis. Makanya ada alam manusia, alam jin, alam tumbuhan, dan alam hewan.  Jadi, ‘alam adalah segala sesuatu selain Allah ﷻ.

Bagaimana Cara Mengenal Rabb-mu?

فَإِذَا قِيلَ لَكَ: بِمَ عَرَفْتَ رَبَّكَ؟ فَقُلْ: بِآيَاتِهِ وَمَخْلُوقَاتِهِ، وَمِنْ آيَاتِهِ: اللَّيْلُ، وَالنَّهَارُ، وَالشَّمْسُ، وَالْقَمَرُ، وَمِنْ مَخْلُوقَاتِهِ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرَضُونَ السَّبْعُ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَمَا بَيْنَهُمَا؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لاَ تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Jika ditanyakan kepadamu, ‘Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?’ Maka jawablah, ‘Dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Di antara tanda adanya Allah dari ayat-ayatnya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Di antara tanda adanya Allah dari makhluk-makhluk-Nya adalah tujuh lapis langit, tujuh lapis bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. Dalilnya adalah firman Allah: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, jika kalian benar-benar beribadah kepada-Nya (QS. Fusshilat: 37). Juga firman Allah: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah bahwa bagi Allah segala penciptaan dan segala perintah, Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-A’raf: 54)’.”

Penjelasan :

Dalil-dalil atau ayat-ayat yang disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, jika kita membahasnya secara panjang lebar, maka ayat-ayat tersebut akan menunjukkan tentang adanya Tuhan. 

Cara kita mengenl Allah ﷻ ialah dari;

– Tanda-tanda kekuasaan-Nya.

– Makhluk-makhluk-Nya.

Logika sederhana, sebagaimana kisah tentang orang-orang Ateis dan Abu Hanifah rahimahullah. Orang-orang Ateis tersebut berdialog dengan Abu Hanifah tentang adanya Tuhan atau tidak. Maka Abu Hanifah berkata bahwa renungkanlah tentang sebuah kapal yang bersandar di sungai Dajlah, kemudian barang dari kapal tersebut turun dengan sendirinya, tanpa ada awak kapal yang mengangkutnya, kemudian naik pula barang-barang yang baru tanpa ada awak kapal yang mengangkutnya, kemudian kapal tersebut berlabuh ke pelabuhan berikutnya, apakah itu bisa terjadi? Orang-orang Ateis pun mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Maka Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika kapal saja yang kecil tidak bisa beroperasi dengan sendirinya, maka bagaimana lagi dengan alam semesta yang teratur dengan aturannya.

Contoh lain dari tanda-tanda kekuasaaan Allah ﷻ ialah;

ومن آياته الليل والنهار، والشمس والقمر

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah malam dan juga siang dan matahari dan juga bulan.”

Ini adalah sebagian kecil dari tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang apabila seseorang mau meluangkan waktunya yang sedikit, merenung, memikirkan tentang tanda-tanda kekuasaan ini, memikirkan malam, memikirkan siang, dan perubahan antara malam dan siang, memikirkan dan merenungi tentang ciptaan Allah yang berupa matahari dan juga bulan, niscaya dia akan mengenal siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika sekiranya matahari atau bulan bukan makhluk, melainkan Tuhan, maka seharusnya masing-masing memiliki kehendak, namun kita sama-sama tahu bahwa matahari dan bulan tidak bisa berkehendak, bahkan keduanyalah yang dikehendaki dan diatur sehingga tidak bisa keluar dari orbitnya, Allah ﷻ berfirman,

﴿لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ﴾

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 40)

Maka, sudah sangat jelas bahwa yang mengatur matahari dan bulan adalah penciptanya, pencipta seluruh alam semesta.

Tuhan Ialah yang Disembah

وَالرَّبُ هُوَ الْمَعْبُودُ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآء بِنَآءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan Rabb (pengatur alam semesta ini), Dialah satu-satunya yang berhak disembah. Adapun dalilnya adalah firman Allah, ‘Wahai manusia, sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui’ (QS. Al-Baqarah: 21-22).”

Penjelasan :

Apabila seseorang sudah meyakini bahwasanya Allah, Dia-lah yang menciptakan alam semesta dan juga mengaturnya, maka kewajiban dia adalah hanya menyerahkan ibadah ini kepada Allah ﷻ agar dia bertakwa.

Takwa yaitu menjauhkan diri dari kemaksiatan dan mengamalkan ketaatan kepada Allah.

Wasiat takwa merupakan wasiat yang sering Rasulullah ﷺ ingatkan. Karena apa? Karena begitu pentingnya ketakwaaan kepada Allahﷻ.

Jadi, keimanan kita bahwasanya Allah yang mencipta, memberikan rezeki, baik dari langit maupun dari bumi, mengatur alam semesta ini, seharusnya menjadikan kita tidak beribadah kecuali kepada Allahﷻ.

Inilah maksud dari ayat yang mulia ini. Oleh karena itu setelahnya beliau menukil ucapan Ibnu Katsir Asy Syafi’i yang memiliki kitab Tafsir,

Beliau mengatakan,


Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

الخَالِقُ لِهَذِهِ الأَشْيَاءَ هُوَ الْمُسْتَحِقُّ لِلْعِبَادَةِ

“Yang menciptakan ini semua, dialah yang berhak untuk disembah (dan bukan yang lainnya).”

Penjelasan :

Tauhid rububiyah melazimkan tauhid uluhiyah.

  • Tauhid Rububiyah adalah tauhid yang menjelaskan tentang  bahwasannya Allahﷻ  yang menciptakan alam semesta , yang mengatur seluruhnya, memberikan rezeki, dsb.
  • Tauhid uluhiyah adalah tauhid didalam beribadah.

Dalam beribadah kita wajib mengesakan Allah karena Allahﷻ yang telah menciptakan kita, memberi kita rezeki maka kewajiban kita kepada Allahﷻ adalah beribadah hanya kepada-Nya karena itu merupakan hak Allahﷻ.

Macam-macam Ibadah Beserta Contohnya

Syaikh Muhammad bin Adbul Wahab rahimahullah berkata :

وَأَنْوَاعُ الْعِبَادَةِ الَّتِي أَمَرَ اللهُ بِهَا مِثْلُ: الإِسْلامِ، وَالإِيمَانِ، وَالإِحْسَانِ، وَمِنْهُ: الدُّعَاءُ، وَالْخَوْفُ، وَالرَّجَاءُ، وَالتَّوَكُّلُ، وَالرَّغْبَةُ، وَالرَّهْبَةُ، وَالْخُشُوعُ، وَالْخَشْيَةُ، وَالإِنَابَةُ، وَالاسْتِعَانَةُ، وَالاسْتِعَاذَةُ، وَالاسْتِغَاثَةُ، وَالذَّبْحُ، وَالنَّذْرُ، وَغَيْرُ ذَلَكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ الَّتِي أَمَرَ اللهُ بِهَا. كُلُّهَا للهِ تَعَالَى.

“Macam-macam ibadah yang diperintahkan kepada kita seperti Islam, iman, dan ihsan. Di antaranya pula adalah berdoa, al-khauf, raja’, bertawakal, raghbah, rahbah, khusyuk, khasyah, inabah, istianah, istiazah, istigasah, az-zabh (menyembelih), bernazar, dan model-model ibadah lain yang Allah perintahkan kepada kita, semuanya hanya untuk Allah Ta’ala.”


وَالدَّلِيلُ: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾. فَمَنْ صَرَفَ مِنْهَا شَيْئًا لِغَيْرِ اللهِ؛ فَهُوَ مُشْرِكٌ كَافِرٌ؛ وَالدَّلِيلُ: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إلهًا آخَرَ لاَ بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ﴾. وَفِي الْحَدِيثِ: (الدُّعَاءُ مخ الْعِبَادَةِ). وَالدَّلِيلُ: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ﴾

“Adapun dalil doa adalah firman Allah, ‘Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun disertakan bersama doamu kepada Allah’ (QS. Al-Jin: 18). Barang siapa memalingkan doa kepada selain Allah, maka dia telah musyrik dan kafir, dalilnya adalah firman Allah, ‘Dan barang siapa berdoa kepada Allah bersama dengan sembahan yang lain, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung’ (QS. Al-Mu’minun: 117). Adapun dalil hadis, ‘Doa adalah inti sari ibadah’. Dan juga dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina’.”

Penjelasan :

Jenis-jenis ibadah yang diperintahkan oleh Allahﷻ adalah islam, iman dan ihsan.

Islam dan iman apabila disebutkan secara bersamaan maka dia memiliki arti yang bebeda. Jika disebutkan secara terpisah maka maknanya sama.

  • Islam adalah amalan-amalan dzohir
  • Iman adalah amalan-amalan batin
  • Ihsan adalah puncak dari iman dan islam

Diantaranya pula;

– Doa

– Khauf (rasa takut)

– Raja’ (rasa harap)

– Tawakkal

– Raghbah

– Rahbah

– Khusyu’

– Khasyyah (takut)

– Inabah (kembali)

– Isti’anah (meminta pertolongan)

– Isti’adzah (meminta perlindungan)

– Istighatsah (meminta perlindungan disaat genting)

– Menyembelih

– Bernazar, dll.

Apa itu ibadah?

Ibnu Taimiyah mendefinisikan ibadah sebagai suatu istilah untuk setiap yang Allahﷻ cintai dan ridhoi dari perkataan dan perbuatan, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.

Ibadah qauliyah adalah ibadah yang dilakukan melalui ucapan atau lisan. Seperti dzikir, tilawatul qur’an, dll.

Ibadah amaliyah adalah ibadah yang berupa praktik atau perbuatan. Seperti sholat, haji, dll.

Semua ibadah kembali kepada tiga yang pokok tadi, yaitu islam, iman dan ihsan.

Para ulama menjelaskan diantara kenapa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan contoh-contoh ibadah-ibadah ini? Kenapa? Karena orang-orang banyak jatuh dalam kesyirikan di macam-macam ibadah ini.

Dalilnya terdapat dalam Surah Al-Jin : 18.

 الْمَسَاجِدَ ,  para ulama menjelaskan maknanya ada 2, yaitu:

  1. Maknanya masjid-masjid
  2. Anggota-anggota sujud

Macam-macam ibadah yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, diantaranya;

  1. Doa

(الدُّعَاءُ مخ الْعِبَادَةِ)

‘Doa adalah inti sari ibadah’.

Ini menunjukan kepada kita bahwasanya do’a adalah salah satu jenis ibadah yang wajib diserahkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diharamkan untuk menyerahkan do’a ini kepada selain Allah.
Barangsiapa yang menyerahkan do’a dan meminta kepada selain Allah (berdo’a kepada selain Allah), siapapun dia maka dia telah melakukan kesyirikan yang besar dan juga telah melakukan kekufuran yang besar.

Kondisi doa yang paling afdhol itu ialah ketika sujud (sholat).

Kondisi seorang hamba yang berdoa kepada Allah ﷻ adalah hal yang paling dicintai oleh Allah ﷻ.

Lalu bagaimana hal yang paling dicintai oleh Allah ﷻ kita palingkan kepada selain-Nya?


﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ﴾

“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina’.” (QS. Ghafir: 60)

Dalam ayat ini, Allah ﷻ menyebutkan bahwa orang yang enggan untuk berdoa kepada Allah ﷻ, maka dia termasuk orang-orang yang sombong dan akan masuk neraka dalam keadaan terhina. 

Doa adalah meminta. Jadi, apakah boleh seseorang meminta kepada makhluk? Boleh, kalau dia (orang yang diminta) mampu. Tetapi dalam masalah rezeki atau dalam hal rububiyah Allahﷻ maka tidak boleh kita meminta kepada selain Allah ﷻ.

 

2. Al-Khauf (الْخَوْفُ) –  Rasa takut yang disertai pengagungan

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan dalil tentang hal ini dari firman Allah ﷻ,

﴿فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

Seseorang yang takut kepada Allah ﷻ bisa terjerumus ke dalam kesyirikan. Lantas, takut seperti apa yang dimaksud di sini? Maksud dari al-khauf ini adalah takut ibadah, yaitu takut yang disertai bentuk pengagungan. Oleh karenanya, takut itu terbagi menjadi tiga:

  1. Khauf tabi’i – Takut yang merupakan tabiat / takut alami.
  2. Contohnya : sesorang yang takut dengan hewan-hewan buas.
  3. Khauful Ibadah – Takut yang merupakan ibadah.
  4. Contohnya : seseorang yang takut akan azab Allah ﷻ maka dia menjauhi semua larangan-larangan-Nya.
  5. Khauf sirri – Takut yang mengandung kesyirikan kepada Allah ﷻ.
  6. Contohnya : Ungakapan seseorang, “Wahai fulan, jangan mengata-ngatai wali ini dan wali itu, nanti engkau akan celaka”. Jika ketakukan tersebut mengantarkan si-fulan tadi berhenti mengata-ngatai  mereka yang berbuat kesyirikan karena takut ancaman dari wali-wali mereka yang telah tiada, maka dia telah terjatuh pada perbuatan syirik.

3. Raja’ (الرَّجَاءُ) – Berharap

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan dalil ibadah raja’ ini berdasarkan firman Allah ﷻ,

﴿فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Raja’ merupakan ibadah hati.

Kita didalam beribadah kepada Allah ﷻ juga berharap agar diakhirat nanti kita dapat melihat wajah-Nya. Harapan itu merupakan kenikmatan terbesar yang didapat oleh seroang hamba Allahﷻ. Maka dalam ayat ini Allah ﷻ menegaskan bahwa barang siapa yang ingin berjumpa dengan Allah ﷻ di surga, maka hendaknya dia beramal saleh dan tidak berbuat syirik sama sekali.

 

4. Tawakal

Allah berfirman,

﴿وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah-lah kalian bertawakal jika kalian beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

﴿وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah cukup baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Tawakal merupakan di antara amalan hati. Tidak boleh seseorang bertawakal kepada selain Allah, bertawakal kepada sebab. Bertawakal wajib diserahkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun manusia (adapun makhluk), maka mereka hanyalah sebab diantara sebab-sebab. Tidak boleh seseorang bertawakal kepada sebab tersebut.

Tawakal adalah menyandarkan dan menggantungkan segala perkara kepada Allah ﷻ.

Bagaimana sejatinya tawakal itu?

 Di dalam hadits Rasulullah ﷺ mengatakan,

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana burung-burung diberikan rezeki.”

Inilah makna Tawakal yang sebenarnya. Bagaimana tawakal sebenarnya seperti tawakalnya burung. Dan burung bertawakal bukan berdiam diri di sarangnya, akan tetapi dia mengambil sebab. Di pagi hari dia pergi meninggalkan sarangnya berusaha bekerja kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rezeki dengan sebab usaha yang dia lakukan. Pulang di sore hari dalam keadaan sudah kenyang dan sudah hilang rasa laparnya.

Janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa yang bertawakal (bergantung) kepada Allah di dalam mendapatkan kebaikan dan di dalam terhindar dari musibah dan juga mudhorot. Barangsiapa yang bertawakal hanya kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kecukupan.
Dan sebaliknya, orang yang bertawakal kepada selain Allah, bertawakal kepada makhluk maka dia tidak akan mendapatkan kecukupan. Hidup dalam keadaan takut, hidup dalam keadaan resah, dan tidak akan mendapatkan kecukupan.

Adapun orang yang bertawakal kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan memberikan kecukupan kepadanya. Janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang hanya bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

5. Raghbah, rahbah, dan khusyuk

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Yang dimaksud dengan Raghbah maknanya dekat dengan Ar Roja’, yaitu rasa harap.

Raghbah merupakan buah dari raja’.

Ibnul Qoyyim berkata :

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الرَّغْبَةِ وَالرَّجَاءِ أَنَّ الرَّجَاءَ طَمَعٌ. وَالرَّغْبَةُ طَلَبٌ. فَهِيَ ثَمَرَةُ الرَّجَاءِ. فَإِنَّهُ إِذَا رَجَا الشَّيْءَ طَلَبَهُ

“Dan perbedaan antara ar-Raghbah dan Ar-Raja’, Ar-Raja’ adalah طَمَعٌ tamak (sangat berharap) adapun Ar-Raghbah adalah طَلَبٌ mencari, maka ar-Raghbah merupakan buah dari ar-Raja’. Karena jika seseorang mengharapkan sesuatu maka ia akan mencarinya”.

Khusyuk merupakan bentuk ibadah. Maka khusyuk tidak boleh diberikan kepada selain Allah ﷻ.

Ayat diatas menyebutkan empat ibadah sekaligus, yaitu doa, raghbah, rahbah, dan khusyuk. Ayat ini menyebutkan tentang bagaimana para nabi itu senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan. Selain itu, para nabi juga senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ dengan tiga kondisi sekaligus, yaitu dengan raghbah (penuh harap), rahbah (takut), dan khusyuk.

 

6. Al-Khasyah (الْخَشْيَةُ) – rasa takut yang dibarengi dengan ilmu

Perbedaan al khauf dengan Khasyah adalah;

  • Khauf adalah takut yang tidak dibarengi dengan ilmu.
  • Khasyah adalah rasa takut yang dibarengi dengan ilmu tentang yang ditakuti.

Mungkin khasyah tampak mirip dengan khauf, akan tetapi khasyah sendiri merupakan rasa takut yang lebih spesifik.

Dalil akan hal ini adalah firman Allah ﷻ,

﴿فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي

“Maka jangan takut kepada mereka, tapi takutlah kepadaku.” (QS. Al-Baqarah: 150)

Oleh karenanya, kita dapati bahwa orang paling takut kepada Allah ﷻ adalah para ulama, karena mereka adalah yang paling tahu tentang Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

﴿إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28).

 

7. Inabah (الْإِنَابَةُ) – Kembali kepada Allah

Dalil akan hal ini adalah firman Allah ﷻ dalam surah Az-Zumar,

﴿وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ

“Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian, dan berserah dirilah kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 54)

Inabah maknanya adalah kembalinya hati seorang hamba yang dari selain Allah kepada Allah ﷻ.

Inabah itu hampir mendekati taubat.

 

8. Isti’anah (الْإِسْتِعَانَةُ) – Meminta tolong kepada Allah

Istianah, yaitu meminta tolong kepada Allah ﷻ juga merupakan ibadah yang seharusnya hanya kita berikan kepada Allah ﷻ. Hal ini sebagaimana ayat yang senantiasa kita ulang-ulang dalam setiap salat kita, yaitu firman Allah ﷻ,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Demikian juga dalilnya dalam hadis, di mana Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

وإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Apabila kalian meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah.”

Apakah kita boleh meminta pertolongan kepada makhluk? Boleh, dengan tiga syarat sebagai berikut;

  1. Dia (orang yang dimintai tolong) masih hidup.
  2. Dia (orang yang dimintai tolong) harus hadir dihadapan kita atau harus bias mendengarkan kita.
  3. Kita tidak boleh bertawakal kepada sebab karena tawakal itu hanya kepada Allah ﷻ.

9. Isti’adzah (الْإِسْتِعَاذَةُ) – Meminta perlindungan kepada Allah

Dalil yang dibawakan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah firman Allah ﷻ,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai waktu fajar.” (QS. Al-Falaq: 1)

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabbnya manusia.” (QS. An-Nas: 1)

Dari dua ayat diatas, menunjukan bahwasanya Isti’adzah adalah termasuk Ibadah. Ibadah hanya diperuntukkan untuk Allah ﷻ.

 

10. Istighotsah (الْإِسْتِغَاثَةُ) – Meminta pertolongan kepada Allah dalam kondisi genting

Istighotsah di sini berbeda dengan istianah, karena istigasah di sini adalah meminta tolong kepada Allah ﷻ dalam kondisi genting. Para ulama megatakan ada perbedaan antara isti’adzah dengan istighotsah. Isti’adzah meminta perlindungan kepada Allah ﷻ sebelum terjadi. Sedangkan istighotsah adalah meminta perlindungan atau pertolongan kepada Allah ﷻ setelah terjadi.

Dalil untuk istigasah ini diantaranya firman Allah ﷻ,

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (QS. Al-Anfal: 9)

Apakah boleh seseorang beristighotsah meminta pertolongan kepada yang lain apabila terkena musibah?

Boleh, dengan tiga syarat berikut :
1. Orangnya masih hidup
2. Hadir di depan kita atau dia mendengar apa yang kita ucapkan
3. Tidak bertawakal dengan sebab tersebut
Ditambah syarat yang ke:
4. Di dalam perkara yang dia mampu untuk melakukannya sebagai manusia

 

11. Adz-Dzabh (الذَّبْحُ) – Menyembelih

Menyembelih adalah salah satu ibadah yang harus dilakukan hanya untuk Allah ﷻ. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,

﴿قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ١٦١ قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ١٦٢ لاَ شَرِيكَ لَه وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ﴾

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah ditunjukkan oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik’. Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya’. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 161-131)

Kata وَنُسُكِي dalam ayat ini maknanya adalah menyembelih. Oleh karenanya, seseorang tatkala menyembelih, hendaknya dia menyembelih karena Allah ﷻ. Baik itu ketika menyembelih untuk akikah, ketika menyembelih ketika berhaji, dan ketika berkurban saat Idul Adha, maka hendaknya itu semua dilakukan karena Allah ﷻ.

12. Nadzar (النَّذر)

Beliau mengatakan,

ودليل النّذر قوله تعالى: {یُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَیَخَافُونَ یَوۡمࣰا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِیرࣰا}

Dan dalil bahwasanya nadzar adalah termasuk ibadah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,
“Mereka menyempurnakan nadzarnya dan takut pada sebuah hari di mana (شرّ) kejelekan pada hari tersebut menyebar (yaitu pada hari kiamat).” [QS. Al Insan 7]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji di dalam ayat ini, orang-orang beriman yang mereka menyempurnakan nadzarnya. Mereka menyempurnakan nadzar dan takut apabila tidak menyempurnakan nadzar akan tertimpa kejelekan di hari kiamat. Menunjukkan bahwasanya menyempurnakan nadzar adalah perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya, maksudnya nadzar untuk berbuat taat.

Nadzar adalah suatu perbuatan mewajibkan kepada dirinya sendiri suatu amalan yang mana pada dasarnya amalan tersebut tidak diwajibkan syariat.

Memulai nadzar adalah makruh (dibenci di dalam syar’iat).

Berdasarkan hadits Nabi ﷺ,

إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Sesungguhnya nadzar ini tidak mendatangkan kebaikan akan tetapi nadzar ini keluar dari orang yang bakhil.” [Hadits shahih riwayat Muslim nomor 1639]

Kenapa demikian?
Karena orang yang bernadzar, misalnya mengatakan,
“Ya Allah, seandainya aku lulus ujian, maka aku akan berpuasa tiga hari atau aku akan berpuasa Senin Kamis bulan depan.”

Artinya apabila dia lulus ujian, maka dia akan berpuasa tetapi kalau dia tidak lulus ujian maka dia tidak berpuasa. Dia tidak melakukan ketaatan tersebut kecuali apabila hajatnya dipenuhi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ini adalah orang yang bakhil di dalam ibadahnya.

Jika sudah bernadzar maka hukumnya wajib. Jika dia telah meninggal dunia maka kewajiban nadzar tersebut jatuh kepada ahli warisnya. Maka dari itu, jangan kita bermudah-mudahan dalam bernadzar.

Dan bernadzar disyaratkan tidak boleh di dalam kemaksiatan.
Apabila seseorang bernadzar untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh menunaikan nadzar tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,

وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اَللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ

“Barangsiapa bernadzar untuk memaksiati Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah dia berbuat maksiat.” [Hadits shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6700).

Jadi kesimpulannya bahwasanya:
Nadzar adalah ibadah, tidak boleh kita serahkan nadzar ini kepada selain Allah.

 

Oleh : nae

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    Open chat
    Ada yang bisa dibantu?
    Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
    Ada yang bisa kami bantu?
    Skip to content